Santri dan Tujuh Pilar Peradaban Dunia
Oleh: Muhamad Hasan Basri, S.Ag., M.Pd.
(Kasi PAPKI Kantor Kemenag Kabupaten Tanggamus)
Hari Santri bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah panggilan sejarah bagi santri Indonesia untuk menjaga moral bangsa sekaligus menuntun dunia menuju peradaban yang lebih manusiawi. Momentum Hari Santri 2025 menjadi refleksi dan arah baru: dari penjaga tradisi menuju pelopor kemajuan.
Menteri Agama, Prof. KH. Nasaruddin Umar (2025), dalam Amanat Hari Santri 2025 menegaskan, “Hari Santri harus menjadi momentum kebangkitan santri Indonesia. Santri sekarang tidak hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga harus menguasai teknologi, sains, dan bahasa dunia.” Pesan ini mempertegas bahwa santri masa kini tidak boleh berhenti di mimbar pesantren, tetapi harus tampil di ruang publik dengan ilmu dan kontribusi nyata bagi bangsa.
Tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia” mengandung pesan mendalam: kemerdekaan sejati tidak berhenti pada kebebasan fisik, melainkan terwujud melalui kemerdekaan berpikir, berkeadilan, dan berinovasi. Santri memegang peran strategis dalam menegakkan tujuh pilar peradaban dunia: kemanusiaan, ilmu, demokrasi, keadilan, toleransi, inovasi, dan keberlanjutan.
Pertama, pilar kemanusiaan. Menurut Nurcholish Madjid (1992), kemenangan Islam sejati adalah kemenangan kemanusiaan universal. Islam tidak hadir untuk menonjolkan perbedaan, tetapi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang berakar pada Ketuhanan dan takwa. Santri dengan wajah teduh dan akhlak lembut menjadi penjaga nurani di tengah kerasnya zaman.
Kedua, pilar ilmu. Pesantren sejak dulu menjadi pusat ilmu dan kebijaksanaan. Namun, tantangan kini menuntut santri menyeimbangkan kitab kuning dengan literasi digital. Mengutip KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), “Agama tanpa cinta akan melahirkan kekerasan” (NU Online, 14 Februari 2018). Ilmu tanpa cinta dan etika hanyalah alat tanpa arah.
Ketiga, pilar demokrasi. Santri lahir dari tradisi musyawarah dan adab. Demokrasi bagi santri bukan hanya sistem politik, tetapi cara hidup yang menjunjung dialog dan keadilan.
Keempat, pilar keadilan. Dalam Fiqh Sosial, KH. Sahal Mahfudz (1994) menegaskan bahwa ilmu agama harus diterjemahkan menjadi tindakan sosial yang membawa kemaslahatan. Keadilan tidak cukup diucapkan, tetapi harus diwujudkan dalam keberpihakan terhadap kaum lemah dan termarjinalkan.
Kelima, pilar toleransi. Santri harus menjadi jembatan di tengah perbedaan, bukan tembok yang memisahkan. Islam rahmatan lil ‘alamin menuntut santri menghadirkan harmoni, bukan permusuhan.
Keenam, pilar inovasi. Santri modern adalah santri kreatif: memanfaatkan teknologi, berdakwah lewat ruang digital, dan menciptakan solusi atas persoalan umat. Pesantren seharusnya tumbuh menjadi laboratorium inovasi sosial.
Ketujuh, pilar keberlanjutan. Santri juga memiliki tanggung jawab ekologis. Menjaga bumi adalah bagian dari ibadah, sebab peradaban sejati tidak akan lahir dari kerusakan alam.
Sejalan dengan Komaruddin Hidayat (2012) dalam Agama Punya Seribu Nyawa, agama yang hidup di ruang publik harus menjadi energi moral yang memperkuat keadaban, bukan sumber pertikaian. Maka jihad santri hari ini bukan lagi mengangkat senjata, tetapi menegakkan akal sehat, memerangi kebodohan, kemiskinan, dan disinformasi.
Santri bukan hanya pewaris masa lalu, melainkan arsitek masa depan. Dengan ilmu, akhlak, dan cinta, santri menjadi wajah terbaik Islam dan Indonesia di mata dunia.


Facebook Comments