Logo
Meneladani Kepedulian dari Abu Darda dalam Merawat Lingkungan

Dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh Abu Abbas ath-Thibi (penulis kitab Al-Kasyf 'an Ma'anis Sunnah) dari Abu Muhammad al-Bgahawi (dijuluki Muhyis Sunnah atau Pendekar Sunnah), terdapat kisah menarik tentang Abu Darda, seorang sahabat Nabi saw yang dikenal dengan ketekunannya dalam beramal.

Disebutkan, sekali waktu seorang lelaki melewati Abu Darda yang sedang menanam pohon kenari. Abu Darda saat itu sudah tua, tetapi ia tetap bersungguh-sungguh melakukan pekerjaan yang dianggapnya bermanfaat. Orang itu merasa heran dan bertanya:

“Apakah engkau masih menanam pohon ini di usia setua ini? Bukankah pohon seperti ini baru akan berbuah bertahun-tahun lagi?”

Pertanyaan ini menunjukkan bahwa laki-laki tersebut merasa perbuatan Abu Darda ini tidak masuk akal dan sia-sia belaka. Buat apa dia menanam pohon yang butuh waktu bertahun-tahun lagi untuk berbuah, padahal yang menanam sudah lanjut usia. Mungkin sebelum buah itu berbuah, ia akan meninggal lebih dulu. Namun, jawaban Abu Darda sangat menggetarkan hati.

“Lantas, apa salahnya? Aku akan mendapatkan pahalanya, meskipun orang lain yang akan memakan buahnya.” jawab Abu Darda.

Dari jawaban Abu Darda ini tampak jelas bahwa cara pandangnya sangat berbeda dengan laki-laki yang menegurnya. Jika laki-laki itu berpikir secara materialis dan duniawi (berfokus pada hasil nyata dan cepat), maka Abu Darda justru berpikir secara spiritualis. Ia melihat amal bukan hanya dari sisi manfaat langsung, tetapi dari nilai jangka panjangnya di sisi Allah dan kebermanfaatannya bagi sesama.

Bagi Abu Darda, menanam pohon bukan sekadar upaya untuk memetik buahnya sendiri. Sesuatu yang jauh lebih penting adalah pohon itu kelak akan memberi manfaat, meski mungkin bukan ia yang akan menikmatinya. Abu Darda menyadari bahwa kebaikan tidak harus dinikmati sendiri, asalkan orang lain merasakan hasilnya. Dari satu pohon yang ia tanam, mungkin akan tumbuh kebaikan yang tak terputus, memberi manfaat untuk banyak orang. Kisah ini disampaikan oleh Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (Al-Munawi, 2018: juz 5, h. 582).

Riwayat ini menegaskan bahwa menanam pohon adalah bentuk amal yang berpahala, bahkan jika tidak dinikmati langsung oleh penanamnya. Seseorang tetap mendapatkan ganjaran meskipun ia menanam untuk keluarga atau sekadar kebutuhan nafkah, meskipun tidak meniatkannya sebagai ibadah secara eksplisit. Allah tetap memberinya pahala atas kebaikan tersebut.

Bahkan pahala itu tidak terbatas pada orang yang langsung menanam, melainkan juga berlaku bagi orang yang menyuruh atau membayar orang lain untuk melakukannya.

Prinsip Abu Darda ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad berikut:

Artinya, “Dari Anas ra., ia berkata: Rasulullah ? bersabda, "Setiap Muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu ada burung, manusia, atau hewan yang memakannya, maka hal itu menjadi sedekah baginya." (HR Bukhari)

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa Islam sangat mendorong umatnya untuk beramal yang memiliki dampak luas, meskipun hasilnya tidak dinikmati langsung oleh pelakunya. Menanam pohon atau tanaman, yang kemudian dimakan oleh makhluk lain, tetap bernilai sedekah. Prinsip ini menunjukkan bahwa nilai amal dalam Islam tidak terikat pada siapa yang menikmatinya, tetapi pada kebermanfaatannya bagi kehidupan.

Dari hadits ini juga tampak bahwa Allah memberikan pahala secara luas, bahkan atas sesuatu yang tampaknya sederhana seperti memberi makan burung atau hewan liar dari pohon yang kita tanam. Semangat ini sejalan dengan prinsip Abu Darda yang menegaskan bahwa amal tak harus dinikmati sendiri. Islam mengajarkan bahwa setiap perbuatan baik yang membawa manfaat bagi makhluk lain adalah bentuk sedekah yang terus mengalir.

Berkaitan dengan hadits di atas, Syekh Badruddin al-Aini dalam ‘Umdatul Qari menjelaskan bahwa bertanam merupakan pekerjaan yang paling utama, meskipun terdapat perbedaan di antara para ulama. Syekh Badruddin menyampaikan:

Artinya, “Teks ini menjelaskan keutamaan menanam pohon dan bercocok tanam. Sebagian ulama menjadikannya dalil bahwa bertani adalah bentuk usaha terbaik. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang usaha yang paling utama. Imam Nawawi berpendapat bahwa yang paling utama adalah pertanian. Pendapat lain menyebut kerja tangan seperti kerajinan lebih utama, dan ada pula yang menilai perdagangan sebagai yang paling utama. Mayoritas hadits menunjukkan keutamaan mencari nafkah dengan tangan sendiri.” (Al-Aini, 2018: juz 12, h. 219)

***

Teladan dan hikmah dari Abu Darda ini mengajarkan bahwa kepedulian terhadap lingkungan bukan hanya soal hasil duniawi, tetapi wujud keimanan dan kasih sayang terhadap ciptaan Allah. Menanam pohon, sekecil apa pun, bisa menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Dalam setiap bibit yang tumbuh, tersimpan harapan akan kebaikan yang lestari, bagi manusia, hewan, dan bumi yang terus kita warisi bersama.

Sumber: https://www.arina.id/islami/ar-jl9be/meneladani-kepedulian-dari-abu-darda-dalam-merawat-lingkungan

Facebook Comments

0 Komentar

TULIS KOMENTAR

Alamat email anda aman dan tidak akan dipublikasikan.

Kepala Seksi PAPKI

Kepala Seksi PAPKI
Muhamad Hasan Basri S.Ag., M.Pd.

INFOGRAFIS

Lihat Semua
Selamat Mengikuti ANLDB Guru PAI dan Siswa SD
Peringatan Hari Sumpah Pemuda Tahun 2025
Informasi Moratorium Sitren
Peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2025
Tolak Gratifikasi

SURVEY

Apakah pelayanan yang diberikan Seksi PAPKI memuaskan?
  Sangat Memuaskan
  Memuaskan
  Tidak Memuaskan
  Kurang Memuaskan