Hijrah untuk Bumi: Tafsir Tanggamus atas Musibah Alam
Oleh: Muhamad Hasan Basri
(Kasi PAPKI Kantor Kemenag Kabupaten Tanggamus)
Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H sepatutnya menjadi momen refleksi sekaligus titik tolak untuk berhijrah. Bukan hanya secara spiritual, tapi juga ekologis. Sebab kerusakan lingkungan yang makin nyata—termasuk di Tanggamus—menandakan bahwa cara kita memperlakukan bumi perlu diubah.
Tanggamus selama ini dikenal dengan lanskap hijaunya dan sumber daya alam yang melimpah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, citra itu mulai memudar. Di tahun 2025 saja misalnya, banjir dan longsor kembali melanda beberapa kecamatan seperti Semaka, Kelumbayan, dan Pugung. Beberapa rumah rusak dan sejumlah warga terpaksa mengungsi. Ini bukan kejadian baru, dan jika tidak ada perubahan, bukan pula yang terakhir.
Bencana itu tak semata disebabkan curah hujan tinggi. Akar persoalannya terletak pada rusaknya lingkungan di hulu: hutan yang gundul, alih fungsi lahan tanpa kendali, serta sungai yang tersumbat sampah. Akibatnya, daya dukung alam melemah. Saat hujan datang, tanah tak mampu menahan air. Longsor pun menjadi tak terelakkan.
Islam sejak awal telah memperingatkan manusia tentang dampak dari tindakannya terhadap bumi. Dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 41 disebutkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.” Ayat ini menegaskan bahwa relasi manusia dengan alam bukan hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral dan spiritual.
Cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Amin Abdullah, menekankan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan kontemporer. Dalam bukunya Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (LKiS, 1996), ia mendorong agar agama tidak hanya dibaca secara normatif, tetapi juga melalui pendekatan historis, sosial, dan ilmiah. Kerusakan lingkungan, sebagai krisis multidimensi, membutuhkan sinergi antara nilai agama, sains, dan aksi sosial.
Senada dengan itu, dalam Merintis Fiqih Lingkungan (MUI Press, 2006), K.H. Ali Yafie menegaskan bahwa menjaga kelestarian alam merupakan bagian integral dari maq??id al-syar?‘ah, terutama dalam kerangka menjaga kehidupan (hifzh al-nafs). Maka, tindakan merusak alam bukan hanya kesalahan ekologis, tetapi juga pelanggaran terhadap prinsip dasar ajaran Islam.
Dalam Etika Lingkungan Hidup dalam Islam (Paramadina, 2006), Dr. Fachruddin Mangunjaya menegaskan bahwa kerusakan ekologis merupakan bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Islam, menurutnya, menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi dengan tugas menjaga kelestariannya sebagai bentuk amanah dari Tuhan.
Amanah ini tak bisa hanya dipikul oleh pemerintah atau aktivis. Semua pihak harus terlibat: tokoh agama, pemuda, petani, pendidik, dan masyarakat umum. Beberapa pekon di Tanggamus sudah mulai bergerak—membentuk bank sampah, membersihkan sungai secara gotong royong, hingga menanam pohon di lereng-lereng rawan longsor. Tapi langkah-langkah ini masih bersifat sporadis. Diperlukan strategi bersama dan komitmen jangka panjang.
Hijrah ekologis tidak harus dimulai dengan proyek besar. Ia bisa lahir dari perubahan kecil: tidak membuang sampah sembarangan, menghemat air, menanam pohon, atau sekadar menjaga kebersihan selokan. Semua itu adalah bentuk tanggung jawab ekologis yang bernilai ibadah.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya bumi ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya.” (HR. Muslim). Tugas sebagai khalifah bukan untuk dibanggakan, tapi dijalankan. Kita diminta tidak hanya mengambil manfaat dari alam, tetapi juga merawatnya.
Tahun Baru Hijriah ini, mari kita mulai hijrah ekologis. Hijrah dari abai menjadi peduli. Dari merusak menjadi merawat. Dari menunggu menjadi bergerak. Sebab bumi tak pernah lelah memberi. Maka kita pun tak boleh lelah menjaga. Dan perubahan, sekecil apa pun, harus dimulai hari ini.
Sumber : Radar Tanggamus


Facebook Comments